Hargotirto | Senin [16/12/2019]
[KBR|Warita Desa] Siang itu, Dudu Duroni petani sayur yang kini menjadi petani kopi, sibuk membersihkan ilalang yang tumbuh di sekitar pohon kopi miliknya. Berbekal cangkul, parang dan gunting, ia merawat tanaman yang kini menjadi sumber pendapatan utamanya itu.
Sudah 3,5 tahun terakhir ia jadi petani kopi. Dulu ia merambah hutan di kaki Gunung Gede Pangrango dan membuka kebun sayur di sana.
"Ketika menjadi petani sayur, kebanyakan ruginya, karena tanah mesti dicangkul. Dan ketika beralih menjadi petani kopi, keuntungan yang didapat bisa lebih dari 50 persen. Di pertanian kopi, ketika panen raya, biaya perawatan lebih murah, karena pemupukan lebih irit, setahun 2 kali saja,” kata Dudu.
Dudu kini bisa menabung, menyicil motor dan berencana menambah luas lahannya.
Keberhasilan serupa dirasakan 100-an petani lainnya di 3 desa di Cianjur, Jawa Barat.
Ini semua berkat pendampingan soal kopi yang mereka dapat dari Negri Kopi Sarongge, sebuah pabrik kopi lokal di sana.
“Lebih jelas, punya harga kontrak, perjanjian dengan petani dari pabrik kopi yang bernama Negeri Kopi. Dihargai Rp8.000 per kilogram untuk buah ceri kopi arabika, sementara robusta, Rp5.000 per kilogram,” kata Dudu.
Petani mendapatkan kebun mereka dari program perhutanan sosial negara. Negri Kopi Sarongge mendampingi petani sayur belajar menanam kopi, mencari bibit yang bagus, menerapkan metode panen yang benar, hingga menampung kopi dari petani.
Inisiator Negri Kopi Sarongge, Tosca Santoso mengatakan, tujuan dari semua pendampingan itu agar petani sejahtera dan hutan di kaki Gunung Gede Pangrango, serta Gunung Geulis, terjaga.
“Kopi adalah salah satu alternatif, pilihan mereka. Jadi mereka ingin menanam kopi sebagai upaya untuk dapat menambah penghasilan. Tapi juga tanamannnya cocok untuk konservasi. Kopi itu akarnya bagus dan tidak harus dicabut kalau panen, sehingga dapat menekan tekanan erosi sampai 35 tahun,” kata Tosca.
Kopi yang dipanen lantas diproduksi di pabrik Negri Kopi Sarongge. Enam perempuan tampak memilah biji kopi. Tangan-tangan mereka cekatan memisahkan biji kopi.
“Yang ini udah yang bagusnya. Yang ini yang jeleknya, dipisahin. Kalau jenis arabika mah, bisa dipilah 3 macem. Kalau milah itu kan harus bersih, harus teliti, paling bisa 15-17 kilogram per hari, per orang,” kata Mirah sembari menjelaskan proses sortasi biji kopi.
Mirah adalah ibu rumah tangga biasa. Namun sejak bergabung di Negri Kopi, kini ia punya penghasilan Rp50 ribu rupiah per hari. Dari situ, Mirah ikut menambah penghasilan keluarga dan membantu biaya sekolah anak.
Setelah proses sortasi tuntas dilakukan, biji kopi akan disangrai, digiling, dikemas dan didistribusikan. Sebagian besar pembelinya adalah kedai kopi di Cianjur, Bogor dan Jakarta.
Salah satunya adalah Kedai Basta Coffee Stand di Cianjur. Pemilik kedai, Bambang, menggunakan kopi Sarongge karena tertarik dengan cerita pemberdayaan petani di sana.
“Karena menanam kopi tidak perlu menebang pohon yang sudah ada, sehingga tidak ada resiko longsor. Beda dengan perkebunan lain. Itu yang membuat saya ingin bekerja sama tidak hanya bisnis,” kata Bambang.
Baca Juga : LIPI Usul Subsidi BBM Dialihkan untuk Listrik Tenaga Surya |
PAHITNYA KOPI SARONGGE, MANISNYA UNTUK PETANI
“Sudah betul-betul merasakan dari kopi enak, walaupun rasanya pahit, tapi uangnya manis.”
Sejumlah pekerja sedang mensortir kopi di Negri Kopi Sarongge, Cianjur, Jawa Barat. (Foto: KBR/Taufik)
Jumat, 13 Desember 2019
Kaki Gunung Gede Pangrango kini makin rimbun. Petani yang semula merambah hutan dan membuka kebun sayur di sana, sudah turun gunung. Mereka kini bertani kopi, didistribusikan oleh pabrik lokal, Negri Kopi Sarongge. Jurnalis KBR Kurniati berkunjung ke Sarongge di Cianjur, Jawa Barat dan berbincang dengan petani kopi.
- Pahitnya Kopi Sarongge, Manisnya untuk Petani
Klik di sini untuk kisah-kisah menarik lainnya
KBR, Cianjur- Siang itu, Dudu Duroni petani sayur yang kini menjadi petani kopi, sibuk membersihkan ilalang yang tumbuh di sekitar pohon kopi miliknya. Berbekal cangkul, parang dan gunting, ia merawat tanaman yang kini menjadi sumber pendapatan utamanya itu.
Sudah 3,5 tahun terakhir ia jadi petani kopi. Dulu ia merambah hutan di kaki Gunung Gede Pangrango dan membuka kebun sayur di sana.
"Ketika menjadi petani sayur, kebanyakan ruginya, karena tanah mesti dicangkul. Dan ketika beralih menjadi petani kopi, keuntungan yang didapat bisa lebih dari 50 persen. Di pertanian kopi, ketika panen raya, biaya perawatan lebih murah, karena pemupukan lebih irit, setahun 2 kali saja,” kata Dudu.
Dudu kini bisa menabung, menyicil motor dan berencana menambah luas lahannya.
Keberhasilan serupa dirasakan 100-an petani lainnya di 3 desa di Cianjur, Jawa Barat.
Ini semua berkat pendampingan soal kopi yang mereka dapat dari Negri Kopi Sarongge, sebuah pabrik kopi lokal di sana.
“Lebih jelas, punya harga kontrak, perjanjian dengan petani dari pabrik kopi yang bernama Negeri Kopi. Dihargai Rp8.000 per kilogram untuk buah ceri kopi arabika, sementara robusta, Rp5.000 per kilogram,” kata Dudu.
Petani mendapatkan kebun mereka dari program perhutanan sosial negara. Negri Kopi Sarongge mendampingi petani sayur belajar menanam kopi, mencari bibit yang bagus, menerapkan metode panen yang benar, hingga menampung kopi dari petani.
Inisiator Negri Kopi Sarongge, Tosca Santoso mengatakan, tujuan dari semua pendampingan itu agar petani sejahtera dan hutan di kaki Gunung Gede Pangrango, serta Gunung Geulis, terjaga.
“Kopi adalah salah satu alternatif, pilihan mereka. Jadi mereka ingin menanam kopi sebagai upaya untuk dapat menambah penghasilan. Tapi juga tanamannnya cocok untuk konservasi. Kopi itu akarnya bagus dan tidak harus dicabut kalau panen, sehingga dapat menekan tekanan erosi sampai 35 tahun,” kata Tosca.
Kopi yang dipanen lantas diproduksi di pabrik Negri Kopi Sarongge. Enam perempuan tampak memilah biji kopi. Tangan-tangan mereka cekatan memisahkan biji kopi.
“Yang ini udah yang bagusnya. Yang ini yang jeleknya, dipisahin. Kalau jenis arabika mah, bisa dipilah 3 macem. Kalau milah itu kan harus bersih, harus teliti, paling bisa 15-17 kilogram per hari, per orang,” kata Mirah sembari menjelaskan proses sortasi biji kopi.
Mirah adalah ibu rumah tangga biasa. Namun sejak bergabung di Negri Kopi, kini ia punya penghasilan Rp50 ribu rupiah per hari. Dari situ, Mirah ikut menambah penghasilan keluarga dan membantu biaya sekolah anak.
Setelah proses sortasi tuntas dilakukan, biji kopi akan disangrai, digiling, dikemas dan didistribusikan. Sebagian besar pembelinya adalah kedai kopi di Cianjur, Bogor dan Jakarta.
Salah satunya adalah Kedai Basta Coffee Stand di Cianjur. Pemilik kedai, Bambang, menggunakan kopi Sarongge karena tertarik dengan cerita pemberdayaan petani di sana.
“Karena menanam kopi tidak perlu menebang pohon yang sudah ada, sehingga tidak ada resiko longsor. Beda dengan perkebunan lain. Itu yang membuat saya ingin bekerja sama tidak hanya bisnis,” kata Bambang.
Negri Kopi Sarongge punya jargon, cita rasa dari hutan yang terjaga.
Kualitas kopi Sarongge ini terbukti mendapat skor ke-3 terbaik se-Indonesia dari Asosiasi Kopi Spesialti Indonesia pada 2019.
Saat ini, Negri Kopi Sarongge memproduksi 6 ton kopi biji mentah dalam setahun.
Negri Kopi mendorong petani untuk mendapatkan akses perhutanan sosial yang lebih luas sekaligus mencari pendanaan di lembaga resmi, bukan tengkulak.
“Kami ingin membangun koperasi petani yang bisa menaungi kepentingan petani untuk produksi yang bagus, dan harga yang bagus,” kata Tosca.
Tosca berharap semakin banyak petani di dekat hutan punya akses lahan yang pasti.
Dengan begitu, struktur pengelolaan tanah di Jawa Barat bisa berubah, sembari membenahi produksi kopi. Dan petani kopi seperti Dudu Duroni bisa terus mengembangkan kebun kopinya.
“Sudah betul-betul merasakan dari kopi enak, walaupun rasanya pahit, tapi uangnya manis,” kata Dudu.
Audio : https://m.kbrprime.id/saga
Reporter:Kurniati Syahdan
Editor:Friska Kalia