Hargotirto | Jumat[13/12/2019
[KBR|Warita Desa] Pemerintah Indonesia sudah berkomitmen mengurangi emisi karbon dalam Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca sejak 2011.
Namun, menurut Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Maxensius Tri Sambodo, komitmen itu patut dipertanyakan. Masalahnya, emisi karbon Indonesia justru meningkat beberapa tahun belakangan.
“Bagaimana cara Indonesia menurunkan emisi karbon di sektor energi adalah pertanyaan besar. Indonesia mencatat peningkatan emisi karbon dioksida sebesar 18 persen sepanjang tahun 2012 sampai 2017 karena meningkatnya emisi dari pembangkitan listrik, industri, dan transportasi,” singgung Maxensius, seperti dilansir situs LIPI, Kamis (12/12/2019).
“Sektor energi masih terjebak pada sumber karbon intensitas tinggi. Tahun 2018, 91 persen proporsi bauran pasokan energi primer masih berbasis energi fosil,” singgungnya lagi.
Selain soal energi fosil, ia juga menyoroti masifnya pertumbuhan jumlah kendaraan yang tidak sejalan dengan komitmen pengurangan emisi.
“Hal tersebut (pertumbuhan kendaraan) tidak diimbangi konsumsi BBM ke arah RON (oktan) yang lebih tinggi. Bahkan potensi subsidi BBM akan meningkat,” ujar Maxensius.
Baca Juga : Bank Dunia : Perlindungan Lansia di Indonesia Lemah |
Subsidi BBM untuk PLTS
Demi memenuhi komitmen pengurangan emisi karbon, Maxensius menyarankan pemerintah mengalihkan subsidi BBM untuk membangun Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS).
"Jika setengah saja anggaran subsidi digunakan untuk membangun Pembangkit Listrik Tenaga Surya, maka bisa terbangun sekitar 29 GW (gigawatt) atau sedikit lebih besar dari beban puncak Pulau Jawa sebesar 27 GW (gigawatt)," ujarnya.
Ia menegaskan bakal memberi rekomendasi lebih lanjut kepada pemerintah tentang masalah ini. “LIPI memberikan rekomendasi kebijakan dari aspek aktor, prosedur, dan pembiayaan,” tandasnya.
Oleh : Adi Ahdiat
Editor: Sindu Dharmawan