Hargotirto | Jumat 27/12/2019
[Solider|Warita Desa] Beberapa hal terkait masukan dari anggota komunitas difabel, Tuli dengan minimnya aksesibilitas di ranah transportasi publik seperti kereta api, dan difabel daksa saat mengakses fasilitas pariwisata menyeruak dalam diskusi yang dihelat oleh kotakita.org di acara tahunan Urban Social Forum ke-7 bertajuk “Menuju Kota (Kesempatan) untuk Semua dengan Mobilitas Inklusif”. Aprilian Bima mempertanyakan ketiadaan akses visual bagi calon penumpang kereta api, karena biasanya pengumuman keberangkatan kereta hanya ditanda dengan suara. Menurutnya selama ini kebijakan-kebijakan baik oleh pemerintah maupun swasta hanya mengedepankan bagi difabel fisik seperti ketersediaan ramp/plengsengan atau toilet akses, namun bagi difabel non fisik seperti dirinya jarang diperhatikan. Demikian tutur Bima dalam bahasa isyarat kepada dua puluh peserta diskusi yang berasal dari organisasi dan komunitas serta Bappeda yang duduk melingkar dalam sebuah ruangan di Rumah Banjarsari Ruang Publik dan Seni, Sabtu (21/12).
Diskusi kian menarik karena selain membicarakan aksesibilitas publik dan implementasi kebijakan berupa penyediaan akses guiding block bagi netra yang masih saja menyalahi aturan. Seperti yang dituturkan oleh Fuad Jamil, salah seorang moderator diskusi yang menyampaikan kembali tayangan di media sosial tentang pemberitaan gambar tegel/ubin guidingblock yang salah pasang, dengan pemasangan zigzag. Sehari setelah viral, guidingblock yang terletak di dekat Taman Makam Pahlawan Kusuma Bangsa Jurug itu kemudian ditilik oleh pengurus harian Tim Advokasi Difabel (TAD). Saat itu juga peninjauan yang juga disaksikan oleh staf dinas terkait langsung membuahkan perubahan, pemasangan jalur pemandu tersebut langsung dibongkar untuk dipasang kembali dengan cara yang benar.
Salah seorang perwakilan Forum Anak Surakarta, difabel cerebal palsy, menyampaikan pendapat terkait akses pendidikan bagi difabel. Ia ingin menciptakan sekolah yang mampu menampung anak difabel dengan guru yang fokus mengajar pada anak tersebut. “Sekolah ini menyetarakan, bisa dikerjakan dengan bekerja sama lintas keahlian, lintas intelektual yang ada di perguruan tinggi. Tentu dengan begini anak difabel tambah bersemangat untuk belajar,”terangnya.
Baca Juga : KAI Antisipasi Libur Natal Tahun Baru Hingga 5 Januari 2020
RAD Disabilitas Perlu Didorong
Kota Surakarta telah memiliki Perda Nomor 2 Tahun 2008 yakni Kesetaraan Difabel, lewat Bappeda sebenarnya telah menyusun Rencana Aksi Daerah (RAD) tahun 2010, yang sejak tahun 2017 dibicarakan. Bahkan pada tahun 2017 tersebut sudah ada rencana pembentukan kelompok kerja (pokja) atau semacam forum untuk mendorong agar RAD tersebut terlaksana. Namun hingga hari ini tidak ada kejelasan sampai dimana perkembangan perencanaan tersebut.
Paulista, dari Kotakita.org menyampaikan pengalamannya bertemu dengan para ahli pegiat difabel dari luar negeri yang meneliti bahwa jika universal desain diterapkan dengan benar, maka difabel bukan menjadi ‘beban’ ekonomi dan malah akan membawa sisi positif di segala bidang, misalnya ketika menyediakan akses layanan publik dan layanan pekerjaan (lifelihood) maka akan menambah pemasukan negara lewat pajak penghasilan. Jadi ketika merembuk tentang universal desain bahwa sebenarnya akses itu untuk semua dan kota yang benar harus memberikan fasilitas yang benar.
Reporter: Puji Astuti
Editor : Ajiwan Arief