[Solider|Warita Desa] Jakarta | Keberadaan Pendidikan Tinggi Khusus untuk Warga Negara Berkebutuhan Khusus (WNBK) menimbulkan pro-kontra di kalangan masyarakat difabel. Berdasarkan berita yang dilansir melalui cuitan VOA Indonesia hari Senin (17/2), keberadaan pendidikan tinggi setara jenjang D3 ini bertujuan untuk memberikan ruang bagi masyarakat difabel dalam mendapatkan kesetaraan pada dunia pendidikan.
Eksklusi dalam Dunia Pendidikan bagi Difabel
Bagi masyarakat difabel, keberadaan perguruan tinggi khusus untuk WNBK merupakan salah satu bentuk eksklusi dalam dunia pendidikan, serta sebuah kemunduran dari sistem pendidikan yang ada, mengingat pemerintah Indonesia tengah menggalakan penyelenggaraan pendidikan dalam setting inklusi di berbagai jenjang pendidikan, termasuk jenjang pendidikan tinggi sebagaimana yang tertuang dalam Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009 dan Permenristekdikti Nomor 46 Tahun 2017 Tentang Pendidikan Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus di Perguruan Tinggi.
“Jika itu jurusan atau universitas yang dikhususkan bagi difabel, aku bisa mengatakan iya (eksklusi)” ujar Tio Tegar, seorang mahasiswa difabel netra pada Solider.id (19/2).
Lebih lanjut, Tio menjelaskan bahwa semangat inklusi dalam praktik pendidikan saat ini sudah sesuai, tidak ada perguruan tinggi yang dikhususkan seperti sekolah luar biasa (SLB). Menurutnya semangat inilah yang seyogyanya terus dipertahankan kendati dalam kenyataannya masih ada praktik penyelenggaraan pendidikan yang belum ideal.
“Justru ketika ada universitas dengan level universitas khusus, buatku itu suatu kemunduran” tutur mahasiswa yang kini tengah menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Dia berpendapat bahwa penyelenggaraan program khusus bagi WNBK dirasa kurang tepat. Menurutnya, tanpa label seperti itu, seharusnya masyarakat difabel pun dapat tetap mengakses pendidikan di perguruan tinggi.
“Perguruan tinggi harus mengakomodasi kebutuhan mahasiswa difabel mulai dari tes masuk yang aksesibel, pembelajaran yang mudah dimengerti, juga aksesibilitas lainnya yang diperlukan teman-teman difabel” pungkasnya.
Senada dengan Tio Tegar, Kustini selaku Ketua Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) Provinsi Jawa Barat juga menyampaikan bahwa penyelenggaraan program khusus untuk WNBK di jenjang pendidikan tinggi merupakan praktik eksklusi pendidikan.
“Saya gak setuju, karena jatuhnya jadi eksklusif. Inklusi itu bukan antara ragam difabel saja, tapi juga antara difabel dan nondifabel” tutur Kustini pada Solider.id (19/2).
Menurutnya, keberadaan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas justru mengarah pada inklusivitas dalam berbagai aspek kehidupan. baik itu pendidikan, kesehatan, pekerjaan, dan sebagainya.
“Untuk apa menggembar-gemborkan inklusivitas, pendidikan inklusi, pekerjaan inklusi, kalau ternyata paradigma berpikirnya masih dari kaca mata eksklusi seperti itu?” ujar perempuan yang juga difabel daksa tersebut.
Alumnus Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Katolik Parahyangan (UNPAR) Bandung, yang juga aktif sebagai pegiat isu difabel ini menjelaskan bahwa pendidikan inklusi tidak membatasi difabel harus masuk ke pendidikan yang dikhususkan bagi difabel atau setara SLB. Seperti halnya kasus yang terjadi pada korban perundungan di Purworejo beberapa waktu lalu.
“Seperti kasus murid yang menjadi korban bullying yang kemudian disarankan oleh Ganjar pindah ke SLB, konyol itu. Berarti Gubernurnya masih perlu diberi peningkatan pemahaman pendidikan inklusi” paparnya.
Dia juga menceritakan pengalamannya semasa menempuh pendidikan di UNPAR. Masa dimana belum ada istilah inklusi-eksklusi dan berbagai kebijakan yang mengatur penyelenggaraannya, namun UNPAR sudah menerapkan sistem pendidikan yang kekinian dikenal sebagai pendidikan inklusi di jenjang perguruan tinggi.
Saat itu, tercatat dua orang mahasiswa difabel yang menempuh pendidikan di sana, yakni dirinya di FISIP dan seorang mahasiswa difabel netra di Fak
Baca Juga : Pelajar di Sleman Hanyut Saat Pramuka, Enam Tewas
ultas Ekonomi. Semua mahasiswa mengikuti perkuliahan dalam kelas yang sama, tanpa dibedakan antara difabel dan nondifabel.
Menurutnya, justru dengan keberadaan mahasiswa difabel di lingkungan nondifabel dapat menumbuhkan inclusive awareness pada seluruh civitas akademika di perguruan tinggi tersebut. Selain itu, pendidikan inklusi juga dapat meningkatkan keterampilan sosial pada difabel, sehingga mereka memiliki kepercayaan diri dalam beraktivitas di tangah masyarakat, serta membantu mengoptimalisasi potensi yang dimiliki. Hal ini sangat diperlukan, mengingat setelah masa pendidikan selesai, difabel harus berbaur dengan nondifabel untuk menjalankan fungsi sosialnya dalam lingkungan bermasyarakat.
Kustini juga mengapresiasi langkah pemerintah dalam memberikan kesetaraan pada masyarakat difabel untuk mengakses pendidikan hingga ke jenjang perguruan tinggi melalui Permenristekdikti No. 46 Tahun 2017, sebagai salah satu upaya nyata pemerintah dalam mengimplementasikan UUD 1945 Pasal 31 ayat 1 Tentang Hak Mendapatkan Pendidikan, yang selaras dengan UU No. 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas.
“Sepertinya masih harus bekerja keras memahamkan inklusivitas terhadap stake holder” pungkasnya, mengakhiri perbincangan dengan Solider.id.
Program Khusus untuk Difabel sebagai Alternatif Pilihan
Program khusus untuk WNBK mendapatkan penolakan dari masyarakat difabel, karena keberadaannya dinilai sebagai praktik eksklusi pendidikan terhadap difabel. Pernyataan kontradiktif tersebut bertolak belakang dengan perspektif Pendidikan Khusus (PKh).
Keberadaan program khusus untuk WNBK yang diselenggarakan oleh Politeknik Negeri Jakarta tersebut justru mendapatkan apresiasi dari Asep Supena, Dosen Program Studi PKh Universitas Negeri Jakarta (UNJ).
“Kita bersyukur dan mempersepsi positif, dalam arti mengapresiasi terhadap langkah itu” ujar Asep, ketika dihubungi Solider.id melalui sambungan telepon (19/2).
Asep berpendapat bahwa langkah tersebut telah membuka peluang bagi anak-anak berkebutuhan khusus untuk bisa mendapatkan pendidikan di perguruan tinggi, walaupun sifatnya bukan di jalur akademik, melainkan vokasi. Bahkan hal tersebut dinilai lebih tepat, karena yang dibutuhkan oleh anak-anak berkebutuhan khusus adalah skill yang memiliki nilai ekonomi.
Asep menjelaskan bahwa secara umum terdapat dua model pendidikan bagi difabel, yakni special class (kelas khusus) bagi difabel dan inclusive class (kelas dalam setting inklusi). Keduanya sah untuk dilakukan tergantung pada kebutuhan dan sesuai dengan apa yang ingin dicapai dari program tersebut.
Lebih lanjut, Dia mencontohkan misalnya mahasiswa difabel kuliah di jalur akademik, dan mereka memiliki kapasitas intelektual yang memadai sebagaimana mahasiswa yang lain, maka seyogyanya pendidikan bagi mereka ditempuh secara inklusi. Akan tetapi, jika sekelompok difabel memiliki kebutuhan yang relatif sama, dengan kata lain dalam rangka meningkatkan keterampilan tertentu untuk kebutuhan kerja, maka kegiatannya dapat dilakukan melalui class program dalam kurun waktu tertentu dan ditempatkan pada kelas khusus.
“Pada kelompok tertentu, mungkin itu akan lebih efektif prosesnya, karena ada target skill tertentu yang ingin dikembangkan pada mereka” tuturnya.
Menurutnya, penyelenggaran program khusus untuk WNBK berdasarkan SK Dirjen Dikti No. 96/F/0/2013 yang berlandaskan pada Mandat Dirjen Dikti No. 549/ET/2011 tersebut dapat berjalan beriringan dengan kebijakan perguruan tinggi yang sedang berjalan saat ini, Permenristekdikti No. 46 Tahun 2017.
“Saya pikir masih bisa berjalan beriringan ya, apalagi sekarang sudah berubah menjadi Kemdikbud” ungkap pria yang tercatat sebagai Asesor Badan Akreditasi Nasional-Perguruan Tinggi (BAN-PT) tersebut.
Asep juga memaparkan dengan adanya perubahan Kementerian tersebut, semestinya Peraturan Menteri (Permen) dari Kemristekdikti yang ada saat ini dapat diperbaharui secara bertahap menjadi Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) yang baru, meskipun isinya mungkin tetap sama. Kendati demikian, menurutnya selama belum ada kebi
Adjie HW, [23.02.20 20:27]
jakan yang baru, maka kebijakan yang ada saat ini masih relevan untuk digunakan sebagai landasan.
Menyikapi pro-kontra atas penyelenggaraan program khusus untuk WNBK, Asep mengatakan bahwa praktik eksklusi dan inklusi dalam pendidikan bagi difabel hingga kini masih berjalan beriringan. Pendidikan inklusi memberikan peluang bagi difabel yang merasa memiliki kemampuan yang memadai. Baik kemampuan intelektual, perilaku, kesiapan mental, dan kepribadian untuk belajar bersama dengan non-difabel.
Menurutnya, keberadaan program khusus untuk WNBK memberikan alternatif pilihan bagi difabel dalam mengakses pendidikan di perguruan tinggi yang sesuai dengan minat dan kebutuhan mereka.
“Saya melihatnya sebagai pilihan. Ada pendidikan kedinasan dimana orang harus hidup berasrama, ada perguruan tinggi umum seperti universitas, institut, atau tidak kuliah tapi mengambil kursus. Semuanya berdasarkan kebutuhan” pungkasnya.
Reporter: Maya
Editor : Ajiwan Arief