Hargotirto | 21/12/2019
[KBR|Warita Desa] Pemerintah berambisi menjadikan Indonesia sebagai negara ekonomi digital terbesar se-Asia Tenggara tahun 2020.
Namun, sampai penghujung tahun 2019, mayoritas pelaku usaha merasa belum nyaman melakukan perdagangan lewat internet atau e-commerce.
Persepsi pelaku usaha itu tercatat dalam laporan Statistik E-Commerce 2019 yang dirilis Badan Pusat Statistik, Rabu (18/12/2019).
"Dari seluruh usaha yang dilakukan pendataan, hanya 15 persen yang merupakan usaha e-commerce. Hal ini menunjukkan bahwa usaha yang dilakukan melalui internet di Indonesia masih tergolong rendah," tulis BPS dalam laporannya.
Menurut survei BPS, ada sejumlah alasan yang membuat pelaku usaha tidak melakukan e-commerce.
"Alasan terbanyak usaha tidak melakukan e-commerce karena lebih nyaman berjualan secara langsung (offline) yaitu sebanyak 70,89 persen," jelas BPS.
Baca Juga : Soal Budi Daya Lobster, Hipilindo : Indonesia Unggul 10 Kali Lipat dari Vietnam
"Alasan terbanyak kedua adalah tidak tertarik berjualan online sebanyak 42,52 persen."
"Dan alasan terbanyak ketiga usaha tidak melakukan e-commerce adalah kurangnya pengetahuan atau keahlian dalam e-commerce yaitu sebanyak 21,78 persen," ungkap BPS.
Banyak E-Commerce Baru di Sulbar dan Papua
Meski aktivitas e-commerce di skala nasional masih rendah, namun ada beberapa provinsi yang mencatatkan pertumbuhan cukup tinggi tahun ini.
Menurut data BPS, persentase 'kelahiran' usaha e-commerce pada 2019 paling banyak terjadi di Sulawesi Barat (Sulbar) dan Papua, yakni di kisaran 44-45 persen.
Sedangkan persentase kemunculan e-commerce baru terendah ada di Kepulauan Riau, Nusa Tenggara Barat, dan Gorontalo, yakni sekitar 14-15 persen.
Meski tingkat pertumbuhannya berbeda-beda, jenis usaha e-commerce di seluruh Indonesia mayoritas sama. Mereka paling banyak bergerak di bidang perdagangan reparasi dan perawatan kendaraan bermotor.
Oleh : Adi Ahdiat
Editor: Ardhi Rosyadi