[KBR|Warita Desa] Abian Salak bukan hanya agro wisata. Namun disinilah olahan buah dibuat kekinian. Mengusung konsep zero waste atau pengolahan tanpa limbah, Abian Salak mengubah paradigma pecinta salak, dari memakan buah berkulit berduri tipis itu, menjadi produk yang bisa dinikmati mulai dari buah, biji hingga kulitnya.
Buah khas bali ini diolah oleh I Nyoman Mastra, pemilik lokasi wisata Abian Salak di Desa Sibetan, Karangasem, Bali. Dengan bantuan Putu Gede Asnawa Dikta, Abian Salak semakin dikenal banyak pihak, bahkan turis dari mancanegara.
Asnawa bercerita, sebagai tim marketing ia tak melulu memikirkan soal untung. Ia juga mencoba mencari jalan yang bisa berdampak baik pada petani salak di Bali, khususnya di wilayah Karangasem.
Berjibaku dengan strategi marketing, Asnawa akhirnya menemukan jalan keluar yang bisa menambah pemasukan petani di sana. Ini dilakukan karena tak selamanya petani untung pada tiap panen salak.
Kata Asnawa, masa panen raya salak yang dimulai sejak Desember hingga Februari setiap tahunnya, memang tak melulu menambah digit di rekening petani. Bukan hanya hasil panen yang busuk, tapi juga harga yang terjun bebas menjadi satu diantara alasan, Asnawa dan tim marketingnya mencari cara menambah nilai jual buah salak.
“Ketika musim panen salak harga salak itu sangat down, sangat anjlok bahkan bisa mencapai Rp1.000 per kilogram. Sehingga waktu itu saya bersama teman-teman coba berdiskusi, rembuk, apa solusi yang bisa kita perbuat. Sehingga muncul solusi adalah bagaimana kita membantu masyarakat dalam produk pasca panen salak,” ujarnya.
Strategi yang diputuskan adalah menggunakan seluruh komponen buah salak akhirnya dipilih. Cara ini dianggap jitu meraup untung dan membantu petani.“ Sebagai contoh satu limbah biji kami olah menjadi kopi biji salak. Kulitnya kami olah menjadi teh salak. Dari hasil daging salak yang gagal panen itu kami olah menjadi kurma salak. Kemudian air residu dari proses kurma salak ini kami proses menjadi madu salak, kemudian cuka salak,” terangnya.
Tak habis di situ, daging buah salak pun dibuat semirip mungkin dengan kurma. Kurma salak ini dibuat dari daging buah yang kualitasnya tak masuk hitungan produksi. “Salak diolah dari daging buah yang kualitasnya kurang baik, kemudian difermentasi sehingga memiliki tekstur, warna dan rasa menyerupai kurma,” katanya.
Melihat ada secercah harapan dari buah yang satu ini, petani pun akhirnya mendukung langkah Abian Salak. Karena menjual olahan salak dinilai lebih menguntungkan, ketimbang hanya buah saja.
“Mereka sangat antusias untuk kembali. Kemudian melalui pengolahan produk pasca panen, melalui produk-produk terbarukan ini masyarakat mulai semakin bersemangat,” katanya. Mengubah buah salak dengan memanfaatkan semua unsur buahnya rupanya tak sesulit yang dibayangkan. Putu Ariniti misalnya. Selain mendapatkan pengetahuan baru, ia juga bisa membantu perekonomian keluarga.
“Kerjanya di sini tidak begitu sulit. Saya di sini hanya membuat kurma, ringan-ringan saja. Kalau penghasilannya secukupnya, karena saya sendiri suami saya sudah tidak ada. Jadi saya mencari penghasilan makan sendiri,” katanya. Walau begitu, kreasi baru atas panen salak tak ada artinya jika tak menemukan pembeli baru. Di era saat ini, platform digital dipilih sebagai jalan keluar. Asnawa membuka pintu bagi lebih banyak lagi konsumen untuk Abian Salak dan tentu pundi-pundi baru bagi para petani di sana.
“Kesulitan adalah meyakinkan bahwa produk ini aman. Oleh itulah kami tempuh jalur riset sehingga muncul kandungan antisianin, karbohidrat, antioksidan dan segala macam, kemudian kami balut dengan packaging. Jadi kami coba buatkan webside, kemudian di Instagram, Facebook. Kami coba ikuti di beberapa expo. Pada intinya sampai detik ini, produk-produk Abian Salak mulai diminati masyarakat,"kata Asnawa. Kesulitan adalah meyakinkan bahwa produk ini aman. Oleh itulah kami tempuh jalur riset-Putu Gede Asnawa Dikta
Selain soal strategi produk dan marketing digital, ternyata Putu Gede Asnawa dan I Nyoman Mastra punya mimpilain yakni mengembangkan pusat informasi, hingga museum salak agar produk asli Bali ini tak mudah diklaim oleh daerah atau negara lain.
“Kami bersama pengelola Argo Wisata Abian Salak coba mengkonsep museum salak. Jadi intinya untuk mengajak anak muda sangat mudah, karena mereka memiliki jiwa interest,” katanya. Apalagi salak di Sibetan ini ada 12 jenis. Menurut Gede Mastra Yang paling bagus adalah Salak Gula Pasir disusul Salak Gondok, Salak Nangka, Salak Nanas, Salak Merah, Salak Penyalin, Salak Kelapa dan Salak Pade.
“Yang paling manis salak gula pasir. Harga jualnya juga tinggi, bisa 40 ribu rupiah per kilogram,” katanya. Sejumlah tim di Abian Salak juga melakukan riset pada kandungan salak. Ini dilakukan untuk meyakinkan konsumen, bahwa salak banyak manfaatnya, dan tentu meningkatkan perekonomian petani.
“Kami riset ternyata kandungan anti oksidannya tinggi, sehingga ini berpotensi menjadi salah satu kadar antisianin untuk menanggulangi kanker. Sehingga ini menjadi salah satu branding, jadi produk selain bermanfaat juga memiliki kandungan ilmiah yang bermanfaat,” ujar Asnawa.
Audio bisa disimak di https://m.kbrprime.id/saga
Reporter : Dwi Reinjani
Editor : Friska Kalia