Menggusur Gang Setan, Menanam Asa di Tanah Ombak
[KBR|Warita Desa] Sore itu, sekelompok anak usia enam hingga sepuluh tahun tengah tekun menundukkan kepala. Mereka bukan tengah bermain gawai, tapi tengah sibuk belajar melukis menggunakan cat air. Sesekali mereka bersitegang, berebut cat air. Yang lainnya melukis sembari berdendang.
Lokasi anak-anak bermain ini hanya sepelemparan dari pantai Padang, Sumatera Barat. Namanya Tanah Ombak. Di Tanah Ombak puluhan anak-anak belajar dan bermain. Dari mulai membaca, menggambar, berpuisi dan bermain teater.
Kawasan ini semula sangar dan dikenal rawan kriminalitas. Penduduk setempat bahkan memberi nama Gang Setan. Salah satu pendiri tanah Ombak , Robby Wahyu Riyodi mengatakan, ini zona merahnya kota Padang.
“Kenapa dipanggil Gang Setan itu karena perilaku masyarakat di sini. Karena tekanan-tekanan dari luar. Di sini inkubasi kejahatan. Segala macam kejahatan yang negatif ada di sini. Memang di sini zona merah kota Padang,” kata Robby.
Intimidasi pun datang menghampiri Robby yang pada 2014 lalu baru mulai berkiprah di Gang Setan. Ancaman pembunuhan itu tak membuat Robby sebagai pendatang mundur.
“Intimidasi itu kita rasakan. Saya pernah disidang sama 5 orang yang sedang mabuk. Kelompok pemabuk ini terus menerus selama kurang lebih 2 jam,” kenang Robby.
Desma Rosalia yang kerap disapa Bu Des warga paruh baya yang lahir dan tumbuh besar itu menceritakan bagaimana anak-anak di kawasan itu tumbuh. Kultur yang penuh ancaman dan kekerasan sehari-hari mereka dapati. Namun semua berubah sejak Tanah Ombak didirikan.
“Anak-anak tuh ngomong kotor tuh kayak biasa-biasa aja. Tapi sekarang sejak ada Tanah Ombak, alhamdulillah mereka sudah banyak berubah. Terus mereka sudah bisa mengerti kalau yang ini misalnya tidak boleh dipegang mereka sudah tahu itu. Karena mereka diajarkan di sini kalau ini punya orang tidak boleh main ambil. Kalau pengen sesuatu harus minta dulu harus tanya dulu,” katanya.
Di Tanah Ombak, sebelum bergabung anak-anak itu dibekali 3 aturan dasar. Tidak boleh berkata kotor, sopan, dan dilarang merundung teman.
“Kita lebih menyasar pada pengembangan kreativitas anak-anak. Dengan mengajarkan dan membuka ruang-ruang kreativitas lewat teater, musik, tari, menggambar, juga menulis kreatif. Terakhir kita mencoba mulai memberikan skill-skill yang bisa memberikan profit di usia remaja mereka,” kata Robby.
Selanjutnya, Robby memotivasi anak-anak itu agar memiliki cita-cita. Impian atau cita itulah yang ditanamkan pada anak-anak Tanah Ombak.
“Semua orang itu punya daya dan sekarang tantangannya adalah apa kita mau berdaya atau tidak? Semuanya punya kesempatan untuk melakukan hal-hal yang luar biasa. Percayalah bahwa kita tidak sendirian untuk melakukan hal-hal yang hebat. Kami percaya bahwasanya kalau kita berdoa bersama untuk mewujudkan sebuah mimpi Kami yakin bahwa kita akan bisa mencapainya bersama,” ujar Robby.
Kini anak-anak itu memiliki beragam cita-cita. Mulai jadi polisi, guru hingga pramugari. Rachel, yatim piatu kelas 3 SMA ini bercita-cita jadi pramugari. Ia juga bertekat menuntaskan jenjang pendidikan hingga sarjana.
“Cita-cita saya menjadi pramugari. Jadi ingin memperlancar komunikasi gitu. Tidak mau jadi nelayan. Harus lebih baik. Kalau misalnya orang tua cuma tamat SMA, saya harus tamat kuliah S1,” tegasnya.
Podcast : https://m.kbrprime.id/saga
Oleh : Rony Sitanggang
Editor : Friska Kalia